Sebuah tulisan sebagai ungkapan kegundahan seorang teman yang bernama Abdul Maal dari Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara.
Di sebuah Desa yg di anggap dulu terpencil yg memiliki Sumber Daya Hutan, Tanah dan Air yang melimpah ruah, Sumber Daya tersebut masih menjadi tumpuan harapan masyarakat Desa sebagai tempat pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari mereka, mereka hidup sejahtera, aman dari hiruk pikuk kendaraan, aman dari hiruk pikuk bunyi mesin, aman dari hiruk pikuk suara demonstran, aman dari hiruk pikuk perebutan Sumber Daya, mereka jalani bertahun-tahun tanpa konplik, hidup berdampingan satu sama lain, saling menghargai yg Tua dan Muda bahu- membahu membangun fasilitas yang mereka butuhkan, semua mereka penuhi dari lingkungan sekitar mereka sendiri.
Namun kenyamanan ini tiba-tiba mulai terusik dengan kedatangan orang Luar, mereka datang membawa teknologi dengan alasan " Pemberdayaan Masyarakat " mereka menganggap bahwa masyarakat yang mereka datangi ini Miskin, masyarakat terbelakang, masyarakat tidak berpendidikan. Mulailah masyarakat mengenal barang-barang buatan Pabrik dengan tampilan yg memukau, TV, Motor, Perabotan dapur dan peralatan yang serba digital.
Untuk mendapatkan barang tersebut dimulailah transaksi dengan cara barter, 1 TV di tukar dgn 1 ha lahan yang berisi Kayu dengan diameter yg cukup besar, 1 buah motor di tukar dgn 1 hamparan gunung yg berisi kayu gaharu, yang akhirnya muncul konflik diantara masyarakat dengan jalan saling mencurigai satu sama lain, saling klaim atas lahan, saling klaim atas sungai-sungai, bahkan mulai saling bunuh- membunuh antara kelompok satu dengan yang lain.
Pemerintah dan Kroninya mulai berdatangan dengan alasan Penengah Penyelesaian masalah pada lingkup masyarakat, para NGO pun mulai berdatangan mencari tau penyebab kehancuran Sumber Daya Alam, penyebab terjadinya kerusuhan dengan mulai menemui satu persatu tokoh-tokoh masyarakat yang bertikai, mereka mencatat semua masalah yang timbul mulai dari beberapa tahun yang lalu, lalu mereka menganalisis keterkaitan masalah yang lalu dan masalah saat ini, kemudian mereka menyimpulkan sesuai kehendak mereka bahwa " Masyarakat harus diberdayakan " masyarakat harus di beri pendidikan kritis, masyarakat harus di beri penguatan kapasitas melalui pelatihan-pelatihan.
Maka mulailah dilakukan workshop-workshop pada berbagai level sampai pada akhirnya " mereka melakukan upaya pemberdayaan " di mulai dari pertemuan-pertemuan pada tingkat Desa, warga masyarakat mulai diperkenalkan " kata-kata " Kemiskinan " Kriteria Kemiskinan " Indikator Kemiskinan " dan sejak saat itu masyarakat tidak asing lagi dengan kata-kata Asing " Modernisasi, Transparansi, Akuntabilitas, Fasilitasi, Pemberdayaan " PRA,RRA,CBIA dan dgn sangat hapal mereka Ucapkan kata-kata itu.
Dari tahun ke tahun Proyek datang silih berganti dengan nama yang berbeda-beda pula, setiap yang datang " Masyarakat datang di Balai Pertemuan " menyambut kedatangan para pembawa Proyek dan Program " satu kata yang selalu keluar dari Masyarakat dan Pemerintahnya " Kami Miskin, Kami tdk Punya Apa-apa lagi " dan Kami minta pada Tuan-tuan agar kami di bantu, kami di beri pekerjaan, kami di berdayakan . Kata-kata ini dulu tidak pernah terdengar dari mereka, bahkan sangat Malu untuk mereka katakan bahwa "Kami MISKIN" karena Sumber Daya yang mereka miliki dulu Mereka Kelola Sendiri, secara turun temurun secara berkelanjutan, bahkan Konsep Dasar Lestari sebenarnya di buat berdasarkan fakta-fakta pada cara masyarakat Mengelola Sumber Daya mereka.
Hari ini masyarakat menjadi Asing di Kampung mereka Sendiri karena Modernisasi, karena alasan Pemberdayaan, Karena Alasan Kemiskinan dan Akhirnya setiap tahun datang lagi bantuan Beras Miskin, Pupuk Gratis padahal dulu Beras mereka adalah Beras Berkualitas nomor Satu, mereka tidak pernah kenal pupuk kimia, mereka lebih kenal Pupuk Kandang atau cara pengolahan lahan secara bergantian dari lahan satu ke lahan yang lain dan pada saat lahan yg di olah pertama telah di anggap Subur MEREKA KEMBALI LAGI MENGOLAHNYA dan ternyata hari ini cara tersebut baru mulai di anggap cara lestari.
Kini kondisi Alam tidak lagi dapat menyediakan secara sukarela Kebutuhan Masyarakatnya " Masyarakat mulai bertuan pada Sumber Daya, pada Pemberi Program, Pemberi Proyek dan Masyarakat tidak dapat lagi Membedakan Proyek dan Program yang mereka tahu mereka harus dapat bagian dari Proyek dan Program.
Ketika Rakyat Tidak Lagi Dapat Membedakan Proyek dan Program
Diposting oleh
Kampung Halimun
di
21.30.00
Label:
Beras Berkualitas,
Gaharu,
Hutan,
Konawe Selatan,
Modernisasi,
Program,
Proyek,
Sulawesi Tenggara,
Sumber Daya,
Sungai,
Tanah
Langganan:
Posting Komentar (RSS)
0 komentar:
Posting Komentar