Suka Cita di Tanah Berstatus Quo
Sangat asyik memang ketika kumpul bareng dan menikmati kebersamaan dan kekompakkan keluarga, saung yang seluruh materialnya berasal dari bambu dan berlokasi di tengah-tengah sawah ini dilengkapi dengan fasilitas air bersih, tungku dan tempat duduk yang lumayan nyaman. Sambil menunggu nasi liweut matang, seorang kakek mulai bercerita kepada anak dan cucu-cucu nya. Beliau menceritakan sejarah sawah yang dia kelola sekarang, " sebelum diambil alih oleh PT Intan Hepta (perusahaan yang menanam cengkeh waktu itu) sawah ini di miliki dan dikelola ayah kakek tuturnya".
Sawah tersebut memang sebagian kecil dari luasan lahan yang dikelola oleh masyarakat desa Cipeuteuy, Cihamerang, Tugu Bandung dan Kabandungan. Tanah seluas 583 ha yang dikelola oleh PT. Intan Hepta semenjak tahun 1975 berdasarkan izin HGU (Hak Guna Usaha) dari pemerintah, HGU tersebut berlaku sampai dengan tahun 2001. Sebelum masa aktif HGU habis, tepatnya tahun 1995 PT Intan Hepta mengalami kerugaian dan tidak bisa mengelola lagi perkebunan, pohon cengkeh yang ada di tebang habis dan perkebunan tersebut ditinggalkan. Karena tidak ada yang mengelola, tanah eks perkebunan ini menjadi terlantar dan hanya ditumbuhi oleh semak belukar, pada masa itu masyarakat yang berada di sekitar perkebunan kehilangan pekerjaan dan mulai timbul masalah dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Proses penelantaran tanah ini berlangsung lama, sehingga pada tahun 1996-1997 muncul inisiativ masyarakat untuk mengelola lahan perkebunan tersebut. Tanah yang ada di ambil alih oleh masyarakat dengan di tanami padi dan palawija, karena timbul kekhawatiran dari masyarakat penggarap yang disebabkan oleh tidak jelasnya status hukum, akhirnya masyarakat mengajukan permohonan kepemilikan lahan tersebut kepada pemerintah. Pengajuan hak kepemilikan lahan oleh masyarakat berlangsung sampai sekarang dan belum membuahkan hasil, ketidakpastian hukum ini mendorong terjadinya kepemilikan lahan kepada investor dan penguasa modal, sebagian masyarakat sudah mulai menjual lahan garapannya kepada orang luar yang berasal dari kota Jakarta, Bogor dan Bandung. Selain kepastian hukum, karena adanya kebutuhan uang tunai secara mendadak pada petani penggarap, terpaksa penggarap menjual lahannya. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan bagi pihak luar dan pemerintah terhadap kemampuan petani penggarap dalam mengelola dan mempertahankan lahan mereka, timbul kekhawatiran setelah status kepemilikan lahan jelas, masyarakat luar malah semakin bernafsu ingin memiliki lahan tersebut.
Status kepemilikan harus dilakukan secara kolektif, dengan melindungi hak-hak masyarakat. Status kepemilikan dan pengelolaan akan lebih jelas, adil dan berkelanjutan apabila difasilitasi oleh Pemerintah Desa, dengan mengajukan lahan ini menjadi aset desa dan dipergunakan sepenuhnya untuk kepentingan masyarakat, Peraturan Desa menjadi payung hukum untuk mengatur detil teknis pengelolaan lahan kedepan. Horeee... liweutnya matang disertai tepuk tangan dan suara girang cucu-cucu si kakek tiba-tiba memutuskan cerita, beliau berharap untuk segera ada pembuktian dari pemerintah dalam memfasilitasi masyarakat nya.
Sawah tersebut memang sebagian kecil dari luasan lahan yang dikelola oleh masyarakat desa Cipeuteuy, Cihamerang, Tugu Bandung dan Kabandungan. Tanah seluas 583 ha yang dikelola oleh PT. Intan Hepta semenjak tahun 1975 berdasarkan izin HGU (Hak Guna Usaha) dari pemerintah, HGU tersebut berlaku sampai dengan tahun 2001. Sebelum masa aktif HGU habis, tepatnya tahun 1995 PT Intan Hepta mengalami kerugaian dan tidak bisa mengelola lagi perkebunan, pohon cengkeh yang ada di tebang habis dan perkebunan tersebut ditinggalkan. Karena tidak ada yang mengelola, tanah eks perkebunan ini menjadi terlantar dan hanya ditumbuhi oleh semak belukar, pada masa itu masyarakat yang berada di sekitar perkebunan kehilangan pekerjaan dan mulai timbul masalah dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Proses penelantaran tanah ini berlangsung lama, sehingga pada tahun 1996-1997 muncul inisiativ masyarakat untuk mengelola lahan perkebunan tersebut. Tanah yang ada di ambil alih oleh masyarakat dengan di tanami padi dan palawija, karena timbul kekhawatiran dari masyarakat penggarap yang disebabkan oleh tidak jelasnya status hukum, akhirnya masyarakat mengajukan permohonan kepemilikan lahan tersebut kepada pemerintah. Pengajuan hak kepemilikan lahan oleh masyarakat berlangsung sampai sekarang dan belum membuahkan hasil, ketidakpastian hukum ini mendorong terjadinya kepemilikan lahan kepada investor dan penguasa modal, sebagian masyarakat sudah mulai menjual lahan garapannya kepada orang luar yang berasal dari kota Jakarta, Bogor dan Bandung. Selain kepastian hukum, karena adanya kebutuhan uang tunai secara mendadak pada petani penggarap, terpaksa penggarap menjual lahannya. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan bagi pihak luar dan pemerintah terhadap kemampuan petani penggarap dalam mengelola dan mempertahankan lahan mereka, timbul kekhawatiran setelah status kepemilikan lahan jelas, masyarakat luar malah semakin bernafsu ingin memiliki lahan tersebut.
Status kepemilikan harus dilakukan secara kolektif, dengan melindungi hak-hak masyarakat. Status kepemilikan dan pengelolaan akan lebih jelas, adil dan berkelanjutan apabila difasilitasi oleh Pemerintah Desa, dengan mengajukan lahan ini menjadi aset desa dan dipergunakan sepenuhnya untuk kepentingan masyarakat, Peraturan Desa menjadi payung hukum untuk mengatur detil teknis pengelolaan lahan kedepan. Horeee... liweutnya matang disertai tepuk tangan dan suara girang cucu-cucu si kakek tiba-tiba memutuskan cerita, beliau berharap untuk segera ada pembuktian dari pemerintah dalam memfasilitasi masyarakat nya.
Diposting oleh
Kampung Halimun
di
16.31.00
Langganan:
Posting Komentar (RSS)
1 komentar:
sayang amat cerita kakek itu putus. Mungkin cucu2nya ada yg bisa meneruskan cerita? Cerita tentang perlawanan lahan sengketa misalnya ... hehehe.
Makasih atas cerita menarik ini ...
Posting Komentar